Barangkali
karena saya anak pertama, saya sering membayangkan memiliki seorang kakak.
Dalam bayangan saya itu, kakak saya seorang perempuan. Saya memang memiliki
kakak perempuan, tapi tidak pernah merasa memiliki karena ia wafat ketika masih
dalam kandungan pada tahuan 1975. Oleh sebab itu saya hanya termungkinkan untuk
membayangkan merasa memilikinya.
Entah ada
hubungannya atau tidak, saya lebih dulu mempersiapkan nama untuk anak
perempuan, jauh sebelum saya menikah. Nama itu saya pakai untuk tokoh utama
dalam novel Pemuda dalam Mimpi Edelweiss.
Ya, namanya Edelweiss.
Boleh jadi,
karena itu pula, ketika Hafi Zha, istri saya, mengandung anak pertama kami,
saya membayangkan janin yang ada di dalam kandungannya perempuan. Dan kelak
terlahir dengan nama Edelweiss. Rupanya,
Allah berkehendak lain. Setelah 7 bulan lebih istri saya mengandung, saya
mengetahui dari hasil USG, anak kami berjenis kelamin lelaki. Saya bersyukur,
apa pun jenis kelaminnya.
Entah sadar
atau tidak, ternyata saya telah lebih dulu memiliki nama untuk anak lelaki,
yaitu Tebing Cakrawala. Nama tersebut muncul karena saya membaca kumcer Sepotong Senja untuk Pacarku karya Seno
Gumira Ajidarma (SGA). Ia sering menggunakan kalimat “matahari kembali ke balik
cakrawala”. Saya sering menggunakan kalimat itu dalam cerpen-cerpen saya dengan
penambahan kata “tebing” sebelum kata “cakrawala”. Frasa tebing cakrawala saya
gunakan untuk alamat e-mail saya, tebingcakrawala@yahoo.com.
Begitu anak pertana saya lahir, saya namai dia Tebing Cakrawala. Nama itu,
sempat menjadi masalah untuk ibu mertua saya.
Saat Tebing
belum genap 1 tahun, istri saya mengandung anak kedua. Kali ini berjenis
kelamin perempuan. Barangkali karena Hafi tidak setuju dengan nama Edelweiss,
saya mencari nama lain. Dari berbagai nama, terpilihlah Mata Air Surga.
Hafi
kembali tidak menyetujui nama itu. Entah karena memang tidak menyukainya atau
karena takut menimbulkan masalah bagi mamanya. Akhirnya, saya menyerahkan soal
nama anak perempuan kami itu kepada istri saya. Biar bagaimana pun, sebagai
orang yang melahirkannya, dia berhak diberi kesempatan untuk menamai anaknya.
Hafi
menamainya Tsurayya al Hasna. Jika dibahasaindonesiakan menjadi kumpulan
bintang atau gemintang yang cantik. Satu-satunya alasan saya menerima nama itu
karena kata tsurayya mengandung rayya. Setidaknya, kata itu tidak terlalu jauh
dengan karakter nama kakaknya. Begitulah, saya memanggil anak perempuan saya:
Rayya.
Bunga, 3 Juni 2014
0 komentar:
Posting Komentar