Oleh Denny Prabowo
(Dari
Mana datangnya Ide, Jakarta: Balai Pustaka, 2011)
Dalam workshop
kepenulisan bagi nominator Sayembara Menulis Cerpen yang diadakan oleh Menpora
bekerja sama dengan Creative Writing Institute (CWI), Hamsad Rangkuti
mengatakan, “Berita adalah kunci kontak kita menulis, dan SIM-nya adalah
bahasa”.
Hamsad (2003:xxii)
juga mengatakan: “‘Wedang Jahe’ (Salah satu cerpen Hamsad dalam buku Bibir
dalam Pispot) lahir setelah saya membaca sebuah berita di koran yang
memberitakan kesiapsiagaan warga sebuah desa di Jawa yang sangat berlebihan.
Diberitakan bagaimana kesiapsiagaan itu dipaparkan. Penduduk sangat mencurigai
para pendatang ke desa mereka. Pukul enam sore waga telah bersiap-siap menjaga
kampung mereka dari orang yang tidak dikenal”. Fakta itu kemudian coba
dihubungkannya dengan pengalamannya minum wedang jahe di warung lesehan
Malioboro, Yogyakarta.
Yup! Salah satu
unsur pembangun fiksi adalah peristiwa. Berita menawarkan banyak peristiwa.
Dalam sebuah berita seluruh unsur fiksi telah terpenuhi.
5W + 1H adalah
perinsip kerja wartawan. Dengan prinsip itu kita dapat memahami proses
terjadinya cerita, yakni peristiwanya what(APA), yang terlibat who (SIAPA),
terjadinya when (KAPAN) dan where(DI MANA),
penyebabnya why (MENGAPA), lalu kejadiannya how(BAGAIMANA).
Hampir setiap hari
kita melihat tayangan berita di televisi, membaca koran, atau mendengarkan
radio. Ada anak membunuh bapaknya, ada paman memerkosa keponakannya, ada
perampok nasabah ditembak kakinya, ada artis dipenjara karena kasus narkoba,
ada anak kecil mencoba gantung diri karena belum membayar uang sekolah, ada
sebuah desa terendam banjir, ada rumah teruruk longsoran sampah, ada pembantu
disiksa majikannya, ada artis dipanggil polisi karena foto bugilnya, ada
teroris melakukan aksi bom bunuh diri.
Wow! Begitu banyak
peristiwa yang kita dapat dari media yang memberitakan sebuah kejadian. Kita
hanya perlu memilih satu saja untuk dijadikan cerita.
Dalam sebuah
wawancara majalah dengan Gubernur Timor Timur saat itu, Mario Viegas Carrascalao,
didapatlah sebuah fakta:
Pada
akhir Oktober saya menerima empat pemuda di ruangan saya, di antara mereka ada
dua orang yang telinganya dipotong. Mereka suatu hari duduk di atas jembatan.
Tiba-tiba muncul lima orang, tiga orang asal Timtim dan dua orang berasal dari
luar Timtim. Langsung menangkap pemuda itu, dipukuli, dan telinganya dipotong.
(Ajidarma, 2005: 189)
Bagi
seorang penulis, laporan semacam ini menantang untuk digarap menjadi sebuah
cerita. Diapakan telinga-telinga yang dipotong itu? Maka Seno Gumira Ajidarma
(SGA) menuliskan sebuah cerita berjudul “Telinga” dalam kumpulan cerpen Saksi
Mata (Jogja: Bentang, 1995), kisah seorang serdadu yang suka mengirimkan
telinga kepada pacarnya, dan betapa bangga pacarnya menerima telinga-telinga
itu.
Pada
suatu hari yang indah, Dewi mendapat kiriman dari pacarnya yang sedang bertugas
di medan perang. Kiriman itu adalah sebuah amplop cokelat. Ketika Dewi
membukanya, ia melihat sepotong telinga. Sebuah telinga yang besar, bagus, dan
belum mengering darahnya. Ada catatan pacarnya dalam amplop itu.
Kukirimkan
telinga untukmu Dewi, sebagai kenang-kenangan dari medan perang. lni adalah
telinga seseorang yang dicurigai sebagai mata-mata musuh. Kami memang biasa
memotong telinga orang-orang yang dicurigai, sebagai peringatan atas resiko
yang mereka hadapi jika menyulut pemberontakan. Terimalah telinga ini, hanya
untukmu, kukirimkan dari jauh karena aku kangen padamu. Setiap kali melihat
telinga ini, ingatlah diriku yang kesepian. Memotong telinga adalah
satu-satunya hiburan.
Dewi
lantas menggantung telinga itu di ruang tamu. Kalau angin berhembus lewat
jendela dan pintu, telinga yang digantung dengan seutas senar itu bergoyang
perlahan. (Ajidarma, 2002: 15)
Lihat
bagaimana SGA menerapkan prinsip realitas sebagai bahan mentah. Berita itu
tidak direkonstruksinya. Tapi diolah kembali dengan mengajukan pertanyaan
sederhana: diapakan telinga-telinga itu? Bagaimana jika telinga-telinga itu
dikirimkan oleh seorang serdadu kepada pacarnya sebagai tanda cinta?
SGA
tidak menelan mentah-mentah fakta itu, tetapi mencoba mencari kemungkinan
cerita di balik fakta. Kamu tentu pernah mendengar tentang feature? Feature
atau yang biasa disebut sebagai tulisan khas menurut Gunawan Mohammad, dkk[1] adalah
“teknik mengisahkan sebuah cerita”. Tidak seperti penulisan berita biasa (baca:
hard news), penulisan feature dimungkinkan untuk mengkreasi sebuah cerita.
Meski tentu saja dalam penulisan feature keakuratan data dan fakta harus tetap dipertanggungjawabkan.
Tujuan dari penulisan feature selain memberikan informasi, juga untuk menghibur
pembaca. Yang terpenting dari teknik ini bukanlah informasi aktualnya,
melainkan apa yang menarik di balik informasi aktual tersebut. Teknik penulisan
ini sangat berguna bagi kamu, ketika ingin menemukan bahan menulis fiksi dari
sebuah berita.
Perhatikan
berita kutipan berita di bawah ini:
Lagi, Perkelahian Pelajar, 1 Tewas
Jakarta
Jakarta, 19 September 1996
Perkelahian
pelajar yang marak akhir-akhir ini kembali menelan korban. Donny Osmond, 17,
siswa SMU 70 kelas II Sosial 2, tewas dalam tawuran kemarin yang terjadi di
bilangan Mahakam, Jakarta Selatan. Diduga ia tewas seketika akibat pukulan
benda keras pada belakang kepalanya. Seperti tawuran-tawuran sebelumnya, tidak
jelas apa pemicu perkelahian pelajar yang terjadi sekitar pukul 2 siang itu.
Menurut
Ujang, penjual teh botol yang mangkal di sekitar Blok M Plaza, tawuran kali ini
berlangsung demikian serunya sehingga banyak kaca mobil yang pecah. Mobil-mobil
yang takut kena batu nyasar berbalik arah sehingga menimbulkan kemacetan.
Selain batu, para pelajar yang bertikai juga menggunakan pisau lipat, sabuk,
pentungan, penggaris besi, dan botol yang dipecahkan menjadi bergerigi tajam.
Ujang pun terkena getahnya. Beberapa pelajar yang lupa membekali diri dengan
senjata menjarah botol-botol minuman dari kiosnya. Ia hanya bisa mengelus dada
ketika botol-botol itu dipecahkan dan isinya tumpah membanjiri halaman kiosnya.
Seperti
biasa polisi datang terlambat untuk menghentikan tawuran tersebut. Baru
setelah polisi menembakkan senjata ke udara, perkelahian itu pun bubar. Para
pelajar kocar-kacir melarikan diri ke segala arah. Sesaat sesudah itulah baru
diketahui ada pelajar yang tewas. Ketika ditemukan polisi, jasad Donny Osmond
sudah terkapar di aspal dengan darah yang mengalir dari kepala, telinga, dan
hidungnya. Di samping jenazah malang itu meraung-raung seorang pelajar bernama
Ali meratapi kepergian sahabatnya.
Jenazah
dikebumikan di TPU Tanah Kusir setelah sholat dzuhur hari ini diiringi ratusan
pelayat. Hujan gerimis dan suasana duka mewarnai prosesi penguburan Donny
Osmond. Tampak beberapa pelajar putri tak kuasa menahan tangis. Ketika jenazah
diturunkan ke liang kubur, ibu korban mendadak pingsan di tempat. Ternyata
Donny adalah anak satu-satunya dan menjadi harapan keluarganya.
Berita tersebut,
oleh SGA, dijadikan dasar penulisan cerpen “Kematian Donny Osmond”. Cerpen ini
dimuat pertama kali dalam edisi khusus majalah Hai, Desember 1996. SGA bahkan
tidak mengganti nama-nama pelaku utama yang muncul dalam berita itu, yakni
Donny Osmond dan Ali. Perhatikan kutipan di bawah ini:
Donny
Osmond turun dari bis. Ia ingin mencari Ali. Ia ingin mencari sahabatnya itu
dan mengajaknya pulang.
Ia tak
tahu, dari belakang, seorang pelajar berikat kepala merah dan tak berbaju,
mengayuh sebuah pentungan besi.
Donny
Osmond masih mendengar teriakan Ali.
“Donnnnyyyy!!!!”
(Ajidarma, 2001: 111)
Kita masih dapat
menemukan fakta seperti dalam berita. Namun, seperti penulisan sebuah feature, SGA berusaha mencari
kemungkinan di balik peristiwa pemukulan itu. SGA memulai ceritanya dengan
mimpi Donny Osmond ketika ia tertidur di atas sebuah bus. Ia menyaksikan bus
yang ditumpanginya diserang pelajar dari sekolah lain, dan ia terjebak di dalam
bus itu. Mimpinya itu terhenti ketika kernet menagih ongkos busnya.
Nah, sekarang kamu
tahu kan, bagaimana harus mengolah fakta di dalam berita menjadi sebuah fiksi?
Apakah kamu masih
ingat berita tetang seorang ibu bernama Anik, yang membunuh ketiga anaknya,
karena ingin mengantarkan anaknya ke surga? Kalau kamu lupa atau bahkan tidak
pernah mendengarnya, berikut cuplikan beritanya:
Waswas Tak Sanggup Membahagiakan, Anik Membunuh
Anaknya
16/06/2006
17:43 | Kasus Pembunuhan
Liputan6.com,
Bandung: Latar belakang pembunuhan tiga bocah oleh ibu kandungnya di Margahayu
Raya, Bandung, Jawa Barat mulai terkuak. Anik Qoriah mengaku menghabisi ketiga
buah hatinya karena takut tidak mampu membahagiakan mereka. “Tadi dia(Anik)
bilang, ia sedang depresi dan paranoid yang berlebihan,” kata Kepala Kepolisian
Resor Kota Bandung Timur, Ajun Komisaris Besar Polisi Edison Sitorus di
Bandung, baru-baru ini.
Setelah
lima hari menyelidiki pembunuhan berantai itu, polisi semakin yakin Anik
pertama kali membunuh Umar. Bayi yang baru menginjak umur sembilan bulan itu
dibekap sampai kehabisan napas. Korban berikutnya adalah Najib yang berumur
empat tahun dan selanjutnya giliran Paras. Gadis umur enam tahun itu dihabisi
setelah dia pulang sekolah (baca: Anik Diduga Membekap Ketiga Anaknya Hingga
Tewas).
Anik
masih mendekam di tahanan Polresta Bandung Timur. Namun, wartawan belum bisa
mengorek keterangan dari tersangka karena kondisi jiwanya belum stabil. “Untuk
sementara kami masih keberatan,” kata Adardam Achyar, pengacara Anik. Adradam
juga mengaku belum mendapat izin dari pihak keluarga, terutama suami Anik, Imam
Abdullah untuk melakukan wawancara.
Tetangga
mengaku tak percaya Anik tega menghabisi ketiga anaknya, karena selama ini
tersangka adalah sosok yang ramah. “Kalau ngobrol juga paling tentang anak,”
kata Nyonya Djayusman. Sedangkan menurut sejumlah tetangga lain, Anik jarang
bersosialisasi. “Anik orangnya tertutup,” ujar Yuni. (JUM/Wendy Surya)
Ketika
terungkapnya peristiwa pembunuhan itu, hampir seluruh media baik cetak, radio,
ataupun televisi, mengetengahkan berita tentang pembunuhan yang dilakukan
seorang ibu kepada anaknya itu. Berita itu sendiri sudah sarat dengan konflik.
Di tangan Koko Nata, berita-berita itu menjadi cerpen yang sangat menarik
dengan judul “Surga di Telapak Tangan Ibu”.
Daftar
Pustaka
Ajidarma,
Seno Gumira. 2001. Kematian Donny Osmond. Jakarta: Gramedia
________________.
2002. Saksi Mata. Jakarta: Gramedia
________________.
2005. Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara. Yogyakarta: Bentang
Pustaka
Rangkuti,
Hamsad. 2003. Bibir dalam Pispot. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
0 komentar:
Posting Komentar